Senin, 19 Agustus 2019

Biografi Singkat Affandi

Affandi Koesoema
Sumber : id.wikipedia.org
Affandi Koesoema dikenal sebagai Maestro Seni Lukis Indonesia yang produktif dengan 2000 lebih karya lukisan. Ia paling terkenal di dunia Internasional karena gaya ekspresionisme dan romantisme yang khas. Tahun 50-an melakukan banyak pameran tunggal di India, Inggris dan Eropa. Selain itu pameran di Amerika dan Australia.

Ia lahir tahun 1907 di Cirebon sebagai putra R. Koesoema, mantri ukur pabrik gula di Ciledug, Cirebon. Affandi sekolah di HIS, MULO, dan tamat AMS, pendidikan formal cukup tinggi yang hanya didapatkan segelintir orang kala itu. Tetapi bakat seni lukis Affandi mengalahkan disiplin ilmu lain dalam hidupnya.

Tahun 1933 umur 26 tahun ia menikahi Maryati asal Bogor, dan dikaruniai anak yang juga pelukis yakni Kartika Affandi.

Affandi pernah jadi guru, pembuat reklame bioskop dan tukang sobek karcis di bioskop Bandung. Namun tidak lama karena tertarik pada seni lukis.

Tahun 30-an, Affandi masuk kelompok “Lima Bandung” (berisi lima pelukis Bandung) dipimpin Affandi, beranggotakan Sudarso, Wahdi, Hendra Gunawan, dan Barli. Kelompok ini berjasa pada perkembangan seni rupa Indonesia. Kegiatannya belajar dan kerja bersama saling bantu antar-pelukis.

Pameran tunggal pertama Affandi terjadi tahun 1943 di Gedung Poetera Djakarta saat zaman Jepang. Ketika itu Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Kyai Haji Mas Mansyur dan Ki Hajar Dewantara (Empat Serangkai) memimpin Seksi Kebudayaan Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) untuk ikut andil, dan di dalamnya Affandi jadi tenaga pelaksana, sementara S. Soedjojono penanggung jawab, mereka berinteraksi langsung dengan Bung Karno.

Saat proklamasi kemerdekaan banyak tembok dan gerbong kereta ditulisi para pelukis, antara lain ungkapan "Merdeka atau mati!", diambil dari penutup pidato Bung Karno yakni Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945. Affandi bertugas membuat poster rancangan Soekarno, berupa laki-laki dirantai dan rantainya putus. Modelnya pelukis Dullah. Kata-katanya "Bung, ayo bung" adalah usulan Chairil Anwar (penyair). Beberapa pelukis siang-malam memperbanyaknya lalu dikirim ke berbagai daerah.

Saat Affandi mendapat beasiswa kuliah melukis ke Santiniketan, India (akademi yang didirikan Rabindranath Tagore), tiba di India, dia ditolak karena dianggap tidak memerlukan lagi pendidikan melukis. Beasiswa pun digunakan untuk pameran keliling India.

Tahun 50-an sepulang dari India dan Eropa, Affandi dicalonkan jadi wakil orang-orang tak berpartai dalam pemilihan Konstituante, ia pun terpilih. Menurut Basuki Resobowo (teman sesama pelukis) dalam sidang konstituante Affandi biasanya diam, sekali-kali tidur, namun saat sidang komisi ia bicara mewakili Komisi Perikemanusiaan pimpinan Wikana, teman dekat Affandi sejak pra-revolusi.

Affandi mengangkat topik perikebinatangan dan dianggap lelucon. Ia pelukis rendah hati, dekat dengan lingkungan. Ketika ia bicara 'Perikebinatangan' tahun 1955, rupanya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup masih rendah.

Affandi termasuk pimpinan pusat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi kebudayaan terbesar yang dibubarkan rezim Suharto. Ia di bagian Lembaga Seni Rupa bersama Henk Ngantung, Basuki Resobowo dan lainnya.

Tahun 60-an, gerakan anti imperialis AS gencar mengagresi Vietnam. Film-film Amerika diboikot di negeri ini. Waktu itu Affandi diundang pameran ke gedung USIS Jakarta dan ia datang. Saat pelukis Lekra kumpul, ada yang bertanya: Mengapa Affandi pimpinan Lekra pameran di tempat perwakilan agresor itu? Lalu ditanggapi seseorang: "Pak Affandi memang pimpinan Lekra, tetapi dia tak bisa membedakan antara Lekra dengan Lepra!", dan semua tertawa.

Sudah ke berbagai negara, namun ia tetap sederhana dan suka merendah. Penyuka nasi dan tempe bakar ini mengidolakan wayang Sokrasana yang jelek namun sangat sakti. Menurutnya Sokrasana mewakili dirinya yang jauh dari tampan. Namun Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi (Deparpostel) mengabadikan wajahnya dalam prangko seri tokoh seni Indonesia. Gambarnya lukisan self-portrait Affandi tahun 1974, saat Affandi masih produktif melukis di museum sekaligus kediamannya di Yogyakarta tepatnya tepi Kali Gajahwong.

Karya lukisnya selalu memukau dunia. Penerima anugerah Doktor Honoris Causa dari University of Singapore tahun 1974 ini suka menumpahkan cat kemudian menyapunya dengan jari-jemari di atas kanvas. Ia menganut aliran ekspresionisme (abstrak). Lukisannya sulit dimengerti terutama oleh orang awam jika tanpa penjelasannya. Namun bagi pecinta lukisan hal itu justru menambah daya tarik.

Cara berpikirnya sederhana. Suatu saat Affandi bingung ketika kritikus Barat menanyakan konsep dan teori lukisannya. Affandi malah balik bertanya, Aliran apa itu? Mereka pun menganggap lukisan Affandi memberi corak baru aliran ekspresionisme.

Hingga tua Affandi membutakan diri dengan teori dan tidak suka membaca. Baginya, huruf-huruf adalah momok besar. Ia sering mengatakan dirinya pelukis kerbau, karena dia merasa bodoh. Sikap sang maestro yang tidak suka teori kecuali kerja nyata ini dibuktikan dengan kesungguhan dirinya melukis yang tidak kenal musim pameran. Bahkan dengan bidangnya itu ia tidak overacting.

Saat ditanya kenapa melukis, dia menjawab: Saya melukis karena saya tidak bisa menulis, saya tidak pandai bicara. Bahasa saya adalah bahasa lukisan. Baginya melukis ialah bekerja dengan gaya seperti orang lapar. Dan mengenai sebutan pelukis, dia hanya ingin disebut tukang gambar. Ia berdalih bahwa ia tidak cukup berkepribadian besar buat dipanggil sebagai seniman, ia pun tidak meletakkan seni di atas keluarga, karenanya ia berkata: Kalau anak saya sakit, saya pun akan berhenti melukis.
Hingga meninggal pada Mei 1990, ia tetap melukis, kegiatan yang telah menjadi bagian dari hidupnya. Ia dimakamkan dekat museum yang didirikannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Soal Cerita Matematika SD Kelas 2 Semester 1 (1)

1. Pada suatu hari Budi pergi ke pasar membawa uang Rp. 500. Ia membeli ikan 5 ekor dengan harga Rp. 250, kemudian membeli 4 butir dengan h...